Kamis, 21 Oktober 2010

IMPAS

Gelora hati
Rindu bergolak
jiwa nanar berasa kelu
Menggepar gemetar
Terjebak imaji maya
Kala impas penantian lama
Impi bertemu kandas rindu
Kepak terbang, gemawan cakrawala
Rajut jalan cinta tersulam
Gempita hidup,
titian gemilang
By: Aris Munandar (AM)

BERAKHIR DI NAUNG KAMBOJA (cinta tak sempat)

Belenggu ikatan batin penuh arti dan mendalam membuat Doni berlama-lama bersandar dipohon depan rumahnya, termangu di samping pusara sang ibu.Angin di sekitar seakan sangat mengenalnya. Hampir setiap saat meraka berhembus bisikan kisah lama.karena mungkin mereka tak pernah mati terlipat waktu sekian lama dan mereka menjadi saksi kehidupan, kehidupan yang penuh perjuangan bagi sedikit orang. Sedikit orang yang ingin kehidupannya selalu lebih baik atau mungkin kebahagiaan orang-orang yang mereka sayangi yang mereka perjuangkan.
Bola itu temannya sejak kecil dan selalu jadi teman nostalgia bersama kenangan seorang anak kecil berdamping cinta sang ibu.Benda itu sangat berarti, begitu berarti hingga belum pernah dipakainya bermain.Karena hanya untuk ia peluk seakan itu ialah dia, si kecil yang telungkup dalam pelukan hangat ibunda.boala itu menyimpan buahakhir derita sebab berakhirnya desah nafas. Desah nafas yang terlalu lama hembuskan perih duka setelah hirup angin lara kehidapan. Sang ibu telah tiada.
Kamboja telah mekar bersama tersirat baunya. Doni tertunduk kusyu’.Kadang malu pada apapun yang dilihatnya dalam rapatnya mata tepejam.Sepancar kenangan masa lalu, tirai tergulung dan jelas masa silam barulang begitu nyata ia saksikan.
Doni coba untuk tidak tetap tundukan kepala yang sejal tadi tak kuasa ia angkat.
“Ha…ha…ha….,apa yang kau sesalkan?”
Domi tak alang kaget, bola yang ia peluk mentertawakannya.
“Aku menyasal memilikimu,”Doni berteriak.
Kau yang menginginkannya kenapa takingin kau miliki?”
“Semus telah berlalu, nikmati saja apa yang kau inginkan dku dan telah kau miliki sekarang.’
“Kenapa kau tak bahagia, bukannya ini yang kau inginkan?”
“Ha…ha…ha…,tak dengrkah kau kata kamboja, angina dan batunisan, mereka benar.”
Doni tersungkur diatas pusara ibunya, menangis sejadi-jadinya. Dia genggam tanah merah pengubar jasad ibunya.
“Aku yang salah ibu.”
“Ha…ha…ha…,kenapa masih menyesal?”
‘DIAM……!”
Doni seakan ingin melumat satu-satunya benda warisan dari ibunya, Yang terbujur dan hilang beban.
***
Ketika cinta berbalut mara dan ketidak sadaran yang dicintai. Tak kuasa menahan  beban batin.
Tuti melihat tetangganya yang coba cari takdir layak di semarang, selalu pulang bawa banyak uang. Sebagai sesame janda ia merasa iri.
“Ni, bok ya aku diajak kesemarang!”
“O…<emang kamu punya saudara disana?”
“Ndak sih, tapi coba dulu lah.”
“Yo wis, besok ikut aku!”
Doni yang masih SD diajak Tuti melawan kenyataannya yang sekarang. Semua dilual, semua yang ada di Gunungkidul. Berharap nasib lebih bermurah hati padanya. Tunjukkan kenyataan lain lebih baik.Tuti bukannya ingin melawan takdir, hanya ia berusaha mencari kebahagiaan anaknya. Baginya hart tak penting, tapi apapun yang bisa membuat anaknya bahagia itu manjadi penting.
***
Telah sekian menit senja berlalu. Langit makin temaram, semalin muram pula batinTuti. Bertambah pudar mimpi-mimpinya. Harapannya hanya akan benar-benar terjadi nanti.Dalam dawai simponi mimpi, dalam kembang tidur malm yang akan ia lewati.Dia bisa tersenyum, hingga fajar nanti.
Tak bisa dikatakan sebentar Tuti bersanding dengan peliknya hidup. Belum juga hiduppnya berangsur membaik Anaknya makin dewasa. Donipun masih beum bisa legawa menerima kenyataannya, hidup dalam kemiskinan. Tinggal dalam rumah kumuh, dihinpit rumah bertinngkat tetangga di kampong Kebonharjo, Semarang utara.   
Inilah beban batin Tuti ia cinta anaknya, dia ingin anaknya bahagia, tapi yang dicintainya seakan tak sadar. Selalu Doni menuntut lebihdari apa yang Tuti berikan. Karena memang tidak terlalu banyak apa yang disediakan Tuti setiap hari.
“Mak bok ya sekali-kali lauknya ayam!”
“Ayamnya sapa to le? La tempe saja sudah bersukur.”
“Bersukur gimana? apa yang bisa kita sukuri?”
Mulut Tuti liat, Berat untk katakana apapun. Air matanya sudah menggenang. Tapi ia balikkan wajah, dia tak mau anak yang dicintainya meklihat dirinya menangis.
“O..ya mak, SPPku sudah telat dua bulan, besok harus dibayar.”
Belum sempat Tuti mengangkat kaki untuk malangkah, apa yang di katakana doni membuatnya tak kuasa menahan genanga di matanya hingga mengalir, mengalir dis sela_sela keriput wajahnya yang sudah semakin berumur. Tuti kadang berpikir dalam keputusasaan ,apakah dia mampu berikan apa yang diminta anaknya dalam usianya yang tidak bis adikatakan muda lagi, sedang dia tidak bisaberikan itu saat usianya belum mtnginjak senja. Segalanya telah menjadi semakin sulit, dengan segala kenyetaannya sekarang Tuti menjadi sadar,”Ternyata berat sarat untuk kebahagiaan anakku.”
***
Ha…ha…ha…,kenapa menangis?”
“He..bola, menurutmu apakah aku yang menyesal ini bisa dakatakan durhaka?”
“Durhaka ? itu konyol.”
“Benar Don…,bahkan ibumu tak akan pernah menganggapmu durhaka, Terlalu besar cintanya padamu.’
“Kau seharusnya senang, hidupmu sarat akan materi.Dia kan bahagia untukmu.”
“HA…ha…ha…,tidakkah kau dengar kete kamboja, angina dan batu nisan, meraka selalu benar.Ha…ha…ha…,Don…Don…!”
BAgaimanapun kenangan itu mengingatkan Doni akan kesadarannya yang terlambat,”Kasihan ibuku yang menginginkan kebahagiaanku.”
Hingar-bingar suasana kota tak dihiraukannya.Burung-burung berkidung sahut- menyahut.Telinga Doni tuli,matanya buta, kulitnya mati rasadan hidungnya tak sedikitpun mencuium bau mawar yang dia tabur di pusara ibunya. Hatinya milihat perasaannya yang dulu mati.TTak bersukur hidup bersama ibu yang menyayanginya. Karena tertutup tertutup kehidupan yang bernapas pada kubangan derita..Matanya yang dulu buta, tak melihat cinta ibunya yang lebih indah dari pesona zamrud kehidupan.Telinganya yang dulutuli, tak mendengar senandung buana lembut suara ibunya.
***
Permintaan Doni, sebuah bola biru, sebuah awal yang akan menjadi akhir. Hati Tuti batu karang yang takkan luluh paparan esok yang semu. Napas panjang dia hela tertahan. Bertandang derita tak jadi alang baginya.
“Apa le bola? Dapat uang dari mana makmu ini, la wong buat lauk tempe kamu ini saja uangnya makmu ini sudah habis”
“Kalau gak mau juga gak papa”
“Hah…,yowis besok tak carikan uang, sekarang makan dulu!”
Sesaat pikiran Tuti berhenti bekerja, matanya kosong tertuju pada lamunan. Apa, siapa, bagaimana, banyak pertanyaan terbayang dibalik senja hati dalam tertunduk. Satu hal yang karenanya Tuti bisa tersenyum , Doni tetap bias melanjutkan sekolah.Karena mendapat beasiswa di tahun keduanya di SMP.Kadang orang-orang yang pantas mengenyam pendidikan dan duduk di bangku sekolah tak mampu dalam hal materi.
Perang batin, keadaan serta fisik Tuti, membuatnya harus teguh melangkah., menapaki pelataran kehidupan dengan jalan yang tak pernah mudah dan kaki enggan serta tak kuasa beranjak.Anannya baka semakin dekat memeluknya,jelaga siasa penderitaan menutup angan dan impiannyayang telah ia bangun berpondasi harapan sejak dulu. Tiap sore Tuti gresek di pasar johar, mengambil apa yang ditinggal para penjual, sisa-sisa sayur dan rempah-rempah yang ditinggal para penjual yang tak berarti buat mereka.Dia takkan menghinakan diri dengan hanya mengharap derma dari orang lain.
“Le, kelihatanna besoknkamu sudah bias tak belikan bola.”
Doni mmenatap wajah ibunya, dia sudah bertambah dewasa. Lubuk hatinya mengatakan tak tega.Dia mulai sadar,”Kasihan ibuku.”
Keringat dalam peluh perjuangan mengkristal dalam dalam benak rasa lega. Sesaat Tuti tersenyum,”Aku sudah bias belikan bola anakku.”Terbersit ia ingin berakhir oenderitaan , berakhir bagai rampai kehidupan dalam baka abadi, kekekalan abadi, cinta haqiqi, kejayaan tiada pernah berakhir.
Sebuah bola biru Tuti bawa dengan angina senja berring bersamanya. Diseberang jalan dia melihat Doni. Mungkin Doni lapar karena Tuti tidak menyediakan apapun di atas meja. Firasat bak selongsong peluru yang membidik pada kenyataan. Tak sabar Tuti untuk berikan  bola yang dipeluknya. Tapi Doni berlari ke arahnya. Sebuah motor dengan kecepatan tinggi melaju ke arah Doni.Tuti yang suda di dekat Doni tanpa piker panjang langsung berlari mendorong Doni, dan…..BRUUGG!. Zamrud telah hancur, senandung buana lembut telah hilang. Tuti terkapar naas dengan bola tetap dalam pelukannya.
“Le…,i..i..ini pemberian terakhir…..”
Seucap kata terakhir terucap seraya napas terakhir. Perjuangan tertanam sepanjang meniti hidup di atas bahtera cinta. Gugurlah sudah bunga-bunga akhir derita. Tak sucap katapun terucap dari mulut Doni yang terbeggu pilu. Dia hanya menangis dan untuk pertama dan terakhir kalinya memelik raga sang ibu yang terlambat ia sayangi.
***
Doni terbangun dari semua ingatan seakan itu mimpi dalam terjaga. Ia hias pusara ibunya dengan bunga kamboja, di depan batu nisan. Kini, dia anggap garis hidup hanyalah sebuah ceriya. Dia telah sukses,Diapun harus menyambung garis cerita hidupnya.Dia beranjak , hapus air mata, dan bola biru bersandar di bawah kamboja. Menunggunya kembali.



Penulis:Aris Munandar, alumni MTs N Ngawen, penikmat serta pelaku Seni dan sastra.Sekarang studi di MA Futuhiyyah -1 kejuruan Bahasa.


Selasa, 19 Oktober 2010

TIRANI

Ego dalam mihrob bertahta
Kangkangi kacung rakyat jelata
Tandaskah hati nurani
lalim kronis meradang
Kentara tirani geram
Kosak kasik jelata tirus
Impit jelata dalam imaji
KANDASLAH TIRANI............!
KANDASLAH TIRANI............!

By: Aris Munandar (AM)

TENTANG CINTA

Cinta saka penyangga singgahi persada sanubari
Tanpa hijab penyekat muram cinta gemeretak hati
Taklagi kala angkara merangkak cinta bawa cita
sudahi lalim tirani celatuk cinta lipur lara
Dengan kekasih jelita manis jangan tutup hati hijab dusta
Dusta nista arang jelaga
Hakiki cinta hinggap abadi
semayam dalam mihrob hati
Hidup bersanding titah pujangga
meniti jalan titian cinta

By: Aris Munandar (AM)